Selamat Datang

Selamat Datang di Situs Layanan Informasi Penyuluhan Perikanan

Minggu, 29 Juli 2018

PENGOLAHAN PINDANG IKAN AIR TAWAR


I.    PENDAHULUAN
Pindang ikan menjadi istilah yang sudah lazim didengar di Indonesia khususnya bagi mereka yang menggemari kuliner khas ikan. Namun demikian, sejauh ini ikan yang diolah menjadi pindang umumnya adalah ikan laut. Di Indonesia terdapat 65.000 pengolahan pindang ikan laut yang tersebar di berbagai daerah di seluruh nusantara. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap hasil tangkapan di laut menyebabkan kebutuhan bahan baku ikan laut untuk pindang menjadi sangat tinggi. Jika hal ini terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama akan berdampak buruk terhadap kelestarian sumber daya ikan di laut. Industri pengolahan pindang ikan laut saat ini saja mengalami kekurangan bahan baku yang mencapai 81.404 ton/bulan. Hal ini berimbas pada kelangkaan/minimnya pasokan pindang ikan laut di tingkat konsumen. Oleh karena itu, kelangkaan pindang ikan laut sudah saatnya disubstitusi/digantikan keberadaannya salah satunya dengan pindang ikan air tawar.
Selain dapat dijadikan sebagai substitusi/penggati dari produk pindang ikan laut, produksi pengolahan pindang air tawar juga dapat menyerap hasil produksi budidaya ikan air tawar yang selama ini umumnya dijual dalam keadaan masih segar.
Produksi pengolahan pindang ikan air tawar sesungguhnya sudah berkembang di masyarakat, salah satunya di Jawa Barat. Namun demikian, cara pengolahan yang masih sangat sederhana dan kandungan air pada ikan air tawar yang cukup tinggi mencapai 75 – 82% menyebabkan tekstur ikan pindang sangat lembek dan daya awetnya masih sangat rendah yaitu sekitar 1-2 hari saja. Kandungan air yang sangat tinggi pada ikan air tawar sangatlah wajar mengingat ikan air tawar hidup pada lingkungan dengan kadar garam yang rendah.
Adapun untuk mengatasi kondisi yang demikian, sesungguhnya dapat dilakukan dengan perbaikan teknologi dalam memproduksi pindang ikan air tawar sebagaimana yang telah dilakukan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan pada Tahun 2012. Bentuk perbaikan teknologi tersebut meliputi beberapa hal diantaranya perendaman dalam garam kimia (tawas) atau asam cuka, dan penggunaan bumbu. Untuk lebih jelasnya mengenai aplikasi teknis dalam memproduksi pindang ikan air tawar akan diuraikan pada bab berikutnya.

Minggu, 08 Juli 2018

PENGOLAHAN IKAN LELE




A. MENGENAL IKAN LELE
1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Lele Lokal (Clarias batrachus)
Ikan Lele (Clarias) adalah marga (genus) ikan yang hidup di air tawar. Ikan ini mempunyai ciri-ciri khas dengan tubuhnya yang licin, agak pipih memanjang serta memiliki sejenis kumis yang panjang, mencuat dari sekitar bagian mulutnya. Ikan ini sebenarnya terdiri atas berbagai jenis (spesies).
Sedikitnya terdapat 55 spesies (jenis) ikan lele di seluruh dunia. Jenis ikan yang digunakan adalah lele lokal yang merupakan lele asli di perairan umum Indonesia. Lele lokal sudah dibudidayakan sejak tahun 1975 di Blitar, Jawa Timur. Daging lele lokal sangat gurih dan renyah karena tidak mengandung banyak lemak. Morfologi ikan lele adalah bagian kepalanya pipih ke bawah (depressed), bagian tengahnya membulat dan bagian belakang pipih ke samping (compressed) serta dilindungi oleh lempengan keras berupa tulang kepala.
Tubuh ikan lele memanjang silindris serta tidak mempunyai sisik, namun tetap licin jika dipegang karena adanya lapisan lendir (mucus) (Santoso, 1994). Siripnya terdiri atas lima jenis yaitu sirip dada (dorsal), sirip punggung (pectoral), sirip perut (ventral), sirip dubur (anal) dan sirip ekor (caudal).
Kepala bagian atas dan bawah tertutup oleh tulang pelat. Tulang pelat ini membentuk ruangan rongga diatas insang. Disinilah terdapat alat pernapasan tambahan yang tergabung dengan busur insang kedua dan keempat. Sirip dadanya dilengkapi dengan sepasang duri yang bisa disebut patil. Patil lele lokal tidak begitu kuat dan tidak beracun seperti lele jenis lainnya termasuk lele dumbo. Selain digunakan sebagai alat pergerakan di dalam air, patil juga dipakai untuk merayap di tempat yang tidak berair dan digunakan sebagai senjata unuk melindungi diri bila ada gangguan (Najiyati, 1992; Djatmika dan Rusdi, 1996).
Lele lokal, seperti jenis lele lainnya, mempunyai insang yang kecil sehingga kurang efektif digunakan untuk bernapas dan memenuhi kebutuhan oksigennya di dalam perairan (Najiyati, 1992). Untuk itu, lele dilengkapi dengan alat pernapasan tambahan pada lembar insang kedua dan keempat berupa modifikasi insang berbentuk bunga yang disebut arborescent organ yang memungkinkan lele untuk mengambil oksigen langsung dari udara. Karena itulah, lele dapat hidup pada lingkungan perairan dengan kadar oksigen rendah dan kadar CO2 tinggi (Susanto, 1989 ; Suyanto, 1992). Karena sifatnya itu pula, lele dapat hidup pada perairan tenang yang keruh seperti waduk, danau, rawa dan genangan air lainnya (Najiyati, 1992).
Menurut Najiyati (1992) pula, ikan lele bersifat nokturnal atau mencari makan pada malam hari. Pada siang hari, ikan ini memilih berdiam diri dan berlindung di tempat yang gelap. Ikan lele temasuk ikan omnivora cenderung carnivora. Di alam bebas, makanan alami ikan lele terdiri dari jasad-jasad renik seperti zooplankton dan fitoplankton, anak ikan dan sisa bahan organik yang masih segar. Pada Gambar 1 dapat dilihat bentuk dari ikan lele lokal.
Menurut Sanin (1984) dalam Rustidja (1997) klasifikasi ikan lele lokal adalah sebagai berikut:
Phylum     : Vertebrata
Class        : Pisces
Sub Class : Teleostei
Ordo        : Ostariophysoidei
Sub Ordo : Siluroidea
Family      : Claridae
Genus       : Clarias
Spesies     : Clarias batrachus

Minggu, 01 Juli 2018

PENGOLAHAN IKAN MAS



A. PENDAHULUAN
Makanan adalah suatu kebutuhan bagi kehidupan. Tubuh manusia membutuhkan makanan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan dan penggantian jaringan. Makanan juga menyediakan bahan-bahan untuk membantu mengatur reaksi-reaksi yang berlangsung selama proses tersebut. Salah satu jenis dari makanan ini adalah makanan tradisional yang merupakan salah satu peninggalan karya seni (Gaman dan Sherrington,1992 ;Marwanti, 1997).
Pertambahan jumlah penduduk dunia yang masih relatif cepat terutama dinegara-negara berkembang seperti Indonesia, membuat semakin meningkatnya kebutuhan hidup. Peningkatan kebutuhan tersebut, antara lain mengenai kebutuhan pangan hewani seperti ikan. Pemenuhan kebutuhan akan ikan, menggeliatkan usaha perikanan khususnya budidaya ikan tawar yang ditandai meningkatnya produksi perikanan budidaya yang didominasi oleh udang 327.260 ton, rumput laut 1.079.850 ton, ikan mas 285.250 ton, bandeng 269.530 ton, nila 227.000 ton, ikan lele 94.160 ton, gurami 35.570 ton dan kerapu 8.430 ton (Ditjen Perikanan Budidaya, 2007).