Sampai saat ini para peneliti belum
menemukan pengganti minyak ikan sebagai penyuplai utama asam lemak omega-3
rantai panjang yang tidak jenuh (highly unsaturated fatty acids, HUFA)
terutama asam eikosapentanat (EPA, C20:5n-2) dan dokosaheksanat (DHA,
C22:6n-3), baik untuk ikan budidaya maupun untuk konsumsi manusia.
Seperti diketahui bahwa keberadaan
kedua asam lemak tersebut sangat dibutuhkan oleh ikan budidaya laut untuk kelangsungan
hidup dan pertumbuhannya. Umumnya ikan laut tidak bisa mensintesa EPA dan DHA
sendiri dan juga tidak bisa diperoleh dari minyak nabati.
Sehingga tidak mengherankan bila
budidaya ikan laut sangat membutuhkan pakan dengan bahan penyusun dari ikan
hasil tangkapan di laut yang biasanya memiliki harga lebih murah (mis. anchovy,
sarden, dan mackerel) daripada ikan budidaya, maka kegiatan budidaya ikan laut
sering diistilahkan sebagai aktivitas “memproduksi ikan dengan ikan”.
Asam lemak omega-3 EPA dan DHA juga
sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia, terutama pada masa pertumbuhan bayi.
Kedua asam lemak ini banyak berguna dalam sistem pertahanan tubuh (immune
system) terhadap penyakit, anti-kanker, dan berfungsi penting dalam sistim
syaraf, otak dan mata.
Asam lemak ini juga dapat mencegah
penyakit jantung akibat kolesterol dan tekanan darah tinggi. Juga berguna dalam
pengobatan penyakit rematik, memperlancar aliran darah, dan mempertinggi daya
pembelajaran janin/bayi. Dengan demikian, sangat dianjurkan untuk mengkonsumsi
ikan lebih banyak daripada daging hewan lainnya.
Meskipun kontroversial, akhir-akhir ini
banyak ahli nutrisi mempertanyakan kelebihan bahan makanan ikan atau penggunaan
minyak ikan dalam pakan sehubungan dengan tingginya kadar residu beberapa bahan
kimia yang berbahaya bagi manusia di dalam tubuh ikan, seperti dioxin
dan polychlorinated byphenyls (PCBs). Kadar kontaminasi bahan kimia
dalam tubuh ikan budidaya adalah lebih tinggi daripada ikan dari alam seperti
yang telah dilaporkan pada ikan salmon dalam Jurnal Science (Hites et al.,
2004).
Lebih lanjut dilaporkan bahwa ikan
salmon dari Eropa mengandung bahan kontaminasi lebih tinggi daripada yang
Amerika Utara dan Selatan. Di alam, ikan karnivora yang berukuran lebih besar
memiliki kandungan dioxin dan PCBs lebih tinggi daripada ikan yang berukuran
lebih kecil. Hal ini disebabkan karena bahan kimia tersebut sebagian besar
terakumulasi dalam tubuh organisme, sehingga semakin tinggi trofik level,
semakin tinggi pula kadar akumulasi bahan kimia tersebut. Sementara itu, kadar dioxin
dan PCBs pada tumbuh-tumbuhan atau minyak nabati jauh lebih rendah daripada
yang dikandung oleh minyak ikan.
Baru-baru ini, beberapa pendekatan yang
telah dicoba untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan minyak ikan dalam
pakan, dan untuk mengurangi kontaminasi bahan kimia dalam tubuh ikan akan
diulas seperti di bawah ini.
1. Substitusi minyak/protein nabati
Selain karena stok ikan laut dunia
sebagai sumber utama bahan pakan ikan budidaya adalah semakin menurun akibat
over-fishing dan faktor alam, untuk mengurangi kandungan bahan kimia seperti
dioxin dan PCBs dalam tubuh ikan budidaya, beberapa peneliti di Eropa sudah
mencoba mensubstitusi minyak ikan dengan minyak nabati seperti minyak sawit
(palm oil), minyak biji rami (linseed oil) atau minyak lobak (rapeseed oil).
Akan tetapi substitusi tersebut tidak bisa menggantikan semua minyak ikan dalam
pakan. Dan khusus untuk tahap pembenihan, pengkayaan (enrichment) EPA dan DHA
pakan makanan larva ikan laut belum bisa dihindari.
Di Jepang, penelitian subtitusi minyak
ikan dengan minyak nabati bisa dikatakan tidak ada, meskipun hampir semua
kebutuhan minyak ikan mereka impor dari negera-negara Amerika Latin. Mereka
lebih konsentrasi pada penelitian yang diarahkan untuk meningkatkan
kelangsungan hidup larva, pertumbuhan, dan kualitas daging ikan yang
dihasilkan. Juga, membuat pakan ikan yang ramah lingkungan (“eco-friendly
diet”), misalnya untuk mengurangi loading fosfor dan ammonia dari ikan ke
perairan.
Meskipun penggantian minyak ikan dengan
minyak nabati sampai 50% tidak mempengaruhi pertumbuhan ikan, akan tetapi
kandungan asam lemak EPA dan DHA dalam tubuh ikan turun drastis. Hal tersebut
disebabkan karena ikan laut tidak bisa mensintesa sendiri EPA dan DHA dari asam
lemak C18 yang banyak dikandung oleh tumbuh-tumbuhan. Jenis ikan budidaya yang
telah diketahui tidak memiliki atau sangat rendah aktivitas enzimnya yang
bekerja dalam sintesa EPA dan DHA adalah ikan sebelah (turbot) untuk enzim
elongase (Ghioni et al., 1999), dan ?5-desaturase untuk ikan kakap (gilthead
sea bream) (Mourente et al., 1993).
Ikan salmon menunjukkan kemampuan
sedikit lebih besar dalam memanfaatkan minyak nabati. Meskipun demikian,
kandungan EPA dan DHA ikan salmon juga menurun bila hanya diberi pakan dengan
minyak nabati dan terus menerus. Untuk mengembalikan kandungan EPA dan DHA
mendekati ikan yang diberi pakan dengan minyak ikan, Bell et al., (2003)
menyarankan perlakuan “wash out”, yaitu mengganti pakan yang mengandung minyak
nabati dengan pakan yang mengandung minyak ikan beberapa bulan sebelum panen
dilakukan. Substitusi minyak ikan dengan minyak nabati juga telah menurunkan
kadar dioxin dan PCBs pada ikan salmon (Bell et al., 2004).
Selain masalah asam lemak omega-3 di
atas, kandungan asam amino tepung nabati juga tidak selengkap dengan tepung
ikan yang kaya akan amino esensial seperti lysine dan methionine. Protein
nabati juga tidak bisa dimanfaatkan dengan baik oleh ikan. Dengan demikian,
ketergantungan ikan budidaya pada tepung ikan juga masih sangat tinggi.
Aplikasi bioteknologi yang bisa meningkatkan kemampuan ikan memanfaatkan
minyak/protein nabati mungkin akan membatu mengurangi ketergantungan tersebut.
Hal ini menjadi tantangan bagi para bioteknologist untuk menemukan faktor
pembatas dalam sistem metabolisme protein yang terlibat dalam pencernaan pakan
nabati.
2. Memelihara ikan jenis karnivora lebih boros
Saat ini, salah satu jenis ikan yang
menjadi ikan budidaya unggulan yang telah ditetapkan oleh Departemen Perikanan
dan Kelautan (DKP) adalah ikan kerapu. Walau harga ikan kerapu relatif mahal
dibandingkan dengan ikan budidaya laut lainnya, tetapi kita tahu bahwa ikan ini
adalah ikan jenis karnivora dan sampai saat ini ikan kerapu belum bisa
memanfatkan pakan buatan.
Akibatnya, hampir semua daerah yang
mengembangkan ikan kerapu menggunakan pakan berupa ikan rucah mentah. Harga
ikan rucah memang murah dan masih relatif mudah diperoleh. Akan tetapi selain
suplainya sangat tergantung musim, juga kualitasnya sangat bervariasi. Ikan
rucah juga bisa sebagai sumber panyakit yang bisa menular ke ikan budidaya.
Dengan hanya memberikan pakan berupa ikan rucah ditambah
beberapa sumber protein nabati seperti kedele, untuk memproduksi ikan kerapu
dengan bobot 0,5 kg, dibutuhkan sekitar 6 kg ikan rucah. Bisa dibayangkan
berapa banyak ikan rucah yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan budidaya
ikan kerapu yang sudah digongkan oleh DKP tersebut.
Pada beberapa daerah yang suplai ikan
rucahnya sudah tidak mencukupi, misalnya di Riau, ikan kerapu diberi pakan
berupa ikan tongkol/tuna yang mentah yang berukuran kecil. Mereka mengorbankan
ikan tongkol kecil karena harganya lebih murah daripada ikan kerapu hidup.
Mereka lupa bahwa ikan tongkol/tuna yang kecil merupakan cikal tongkol/tuna
ukuran besar. Bila kegiatan budidaya seperti itu terus berjalan dan menjadi
intensif, maka stok ikan tongkol/tuna di perairan kita akan menurun drastis
dalam waktu yang singkat.
Untuk itu menjadi tantangan bagi Tim
Rusnas DKP program ikan kerapu untuk membuat pakan buatan yang disenangi oleh
ikan kerapu dalam waktu yang tidak terlalu lama. Strategi yang pernah dilakukan
pada ikan ekor kuning (yellowtail) atau kakap merah (red seabream) di Jepang
yang pada awalnya tidak bisa memanfaatkan pakan buatan menjadi terbiasa, bisa
ditiru untuk ikan kerapu.
3. Melirik ikan jenis herbivora/omnivora
Ikan air tawar pada umumnya mampu
mensintesa omega-3 EPA dan DHA dari asam lemak C18. Sehingga mereka tidak
begitu membutuhkan suplai minyak/tepung ikan dalam makanannya. Oleh karena itu,
pengembangan budidaya ikan yang bersifat herbivora atau omnivora sebagai sumber
protein hewani, dapat menjadi alternatif pengganti budidaya ikan jenis karnivora.
Beberapa peneliti Jepang sudah mulai
memikirkan untuk mengembangkan ikan-ikan herbivora. Akan tetapi mereka tidak
punya banyak pilihan jenis ikan. Ikan tilapia yang telah menunjukkan
pertumbuhan dan kualitas daging yang bagus walau hanya diberi makan berupa
plankton, tidak bisa hidup bebas di alam Jepang dengan temperatur yang sangat
bervariasi tergantung musim. Selain itu, orang Jepang tidak begitu senang makan
ikan air tawar.
Sebaliknya, beberapa jenis ikan air
tawar yang telah lama kita kembangkan, seperti ikan tilapia, mujair, gurame,
ikan mas dan ikan patin, bisa lebih ditingkatkan produksinya, baik melalui
perbaikan sistem budidaya atau pun dengan aplikasi bioteknologi. Ada beberapa
jenis ikan air tawar, seperti tilapia dan mujair, mampu hidup pada rentang
salinitas yang luas. Ikan-ikan seperti ini dapat kita kembangkan untuk masa
depan.
Beberapa hasil penelitian bioteknologi
pada tanaman telah menunjukkan adanya peningkatan daya tahan terhadap kadar
garam tinggi. Teknik ini mungkin bisa digunakan untuk meningkatkan daya
adaptasi ikan air tawar pada salinitas air payau atau bahkan air laut
untukmengantisipasi semakin sempitnya lahan budidaya air tawar.
4. Bioteknologi dalam budidaya ikan
Ikan air tawar umumnya mengandung
omega-6 lebih banyak daripada omega-3.Sebaliknya, ikan laut mempunyai omega-3
lebih banyak. Asam lemak omega-6 banyak kita dapatkan dari sayur-sayuran, dan
jarang orang kekurangan asam lemak kelompok ini. Meskipun ikan air tawar bisa
memproduksi sendiri asam lemak omega-3, tetapi kadar asam lemaknya jauh lebih
rendah dibandingkan dengan apa yang ada pada ikan laut.
Ikan laut banyak mengandung omega-3
bukan sebagai hasil produksi sendiri, tetapi hanya mengakumulasikan asam lemak
tersebut di dalam tubuhnya secara selektif dari makanan yang dimakan. Hal ini
yang menyebabkan ikan laut yang dibudidayakan tidak bisa terlepas dari suplai
EPA dan DHA dalam makanannya, khususnya pada fase pembenihan. Sehingga
peningkatan produksi akuakultur yang berlipat ganda dalam dua dasawarsa
terakhir ini merupakan salah satu penyebab cepatnya penurunan stok ikan laut
dunia (Naylor et al., 2000).
Salah satu bentuk kemajuan bioteknologi
yang mungkin dapat digunakan untuk membantu memecahkan masalah pakan ikan laut
dan juga suplai EPA dan DHA untuk manusia adalah melalui modifikasi sistem
metabolisme asam lemak pada ikan. Dengan cara melipatgandakan jumlah copy gen
yang bekerja dalam sintesa asam lemak HUFA, maka kadar EPA dan DHA dalam tubuh
ikan meningkat sebesar 1,4 dan 2,1 kali lipat daripada ikan biasa (Alimuddin et
al., 2005).
Pada penelitian itu, masih digunakan
ikan air tawar sebagai model. Dengan cara yang sama, strain ikan laut yang bisa
mensintesa EPA/DHA sendiri berpeluang besar untuk dibuat. Aplikasi teknologi
ini pada ikan laut akan membuka peluang pengembangan budidaya ikan laut lebih
besar lagi tanpa harus mengorbankan ikan berukuran kecil lebih banyak lagi.
Juga dengan membudidayakan ikan laut jenis ini, kebutuhan akan minyak ikan
menjadi menurun atau mungkin semuanya bisa digantikan oleh minyak nabati.
Dengan kata lain biaya pakan ikan budidaya yang bisa melebihi 50% biaya
produksi dapat ditekan sehingga kegiatan budidaya menjadi lebih ekonomis.
(Sumber : Simposium Nasional Bioteknologi Dalam
Akuakultur, Juli 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar